Pages

Saturday, August 4, 2012

BELAJAR DARI PENGALAMAN

 Seorang filsuf Yunani mengatakan, “orang pandai belajar dari pengalamannya dan orang bijak belajar dari pengalaman orang lain, tetapi orang bodoh tidak belajar apapun.” Saat James Lam memulai program manajemen risiko di Fidelity Investment tahun 1997, konsep penting yang diangkatnya adalah mengembangkan kesadaran akan arti penting manajemen risiko didasarkan “pembelajaran dari pengalaman” dan “praktek bisnis.” Pertemuan rutin yang diadakan oleh pimpinan perusahaan, pimpinan Departemen, senior manager, dan manager, membahas pembelajaran dan pengalaman buruk perusahaan yang bergerak di industri keuangan seperti Barings Bank dan Kidder, Peabody. Para peserta mengkaji rangkaian peristiwa, akar permasalahan serta dampak finansial dan bisnis yang terjadi. Fokus pembahasan yang paling penting adalah bagaimana perusahaan (Fidelity Investment) dapat menghindari permasalahan yang sama. Pembelajaran lainnya adalah serangkaian kunjungan yang dilakukan ke berbagai institusi keuangan untuk melaksanakan benchmark dalam praktik terbaik, antara lain ke Brown Brothers, Chase, GE Capital dan State Street Bank. Pembelajaran yang penting dari kunjungan ini adalah memberikan proses pembelajaran yang tinggi. State Street Bank memiliki “program pengenalan” enam minggu untuk para staf baru, yang melatih mereka untuk mengenal proses bisnis dan manajemen risiko, sedang Brown Brothers memiliki program “kesalahan dan kelalaian” yang melatih karyawan mengenai permasalahan yang sering terjadi pada operasi perusahaan mereka dan bagaimana menghindari ini semua. Pembelajaran dari kasus yang terjadi ini juga biasa dilakukan pada sekolah bisnis terkemuka di dunia, misal Harvard Business School, menggunakan studi kasus nyata sebagai salah satu metodologi pembelajaran yang utama. Kasus yang ditulis dari pengalaman berbagai perusahaan dipandang sebagai sarana pembelajaran yang efektif, karena menghadirkan situasi nyata ke dalam ruang kelas dan sisi benak para siswa. Bagaimana di Indonesia? Saya ingat cerita seorang teman, beberapa kali dalam setahun, diadakan pertemuan antar para Bankir di Eropa, para bankir bebas membahas kasus yang menimpa perusahaannya, dan yang lain belajar dari pengalaman rekannya. Di Indonesia hal ini sulit terjadi, karena masing-masing perusahaan kawatir bila membuka kasus yang pernah terjadi di perusahaannya, kawatir citra perusahaan menjadi negatif. Saat membuat tugas akhir sekolah di magister manajemen, saya mengambil kasus nyata tentang perusahaan yang sedang melakukan restrukturisasi besar-besaran di perusahaannya. Saya sebelumnya harus menandatangani pernyataan, bahwa saya tak boleh membocorkan data yang diberikan oleh perusahaan, walau Direksi perusahaan berterima kasih atas saran yang saya lakukan, dan dari beberapa diskusi aktif ada beberapa yang menghasilkan perbaikan terhadap kemajuan bisnisnya. Namun dalam suatu seminar, atau workshop, dengan peserta terbatas, kasus nyata dapat dibicarakan dengan bebas, dalam bentuk studi kasus, namun nama perusahaan diganti sehingga tak terlihat lagi secara jelas jika orang tak ikut dalam diskusi dalam workshop. Oleh sebab itu, jika seorang teman menanyakan apakah boleh meminta bahan atau materi yang dibahas dalam workshop, yang saya merupakan salah satu pembicara nya, saya mengatakan bahannya tidak jauh berbeda dengan workshop yang diadakan provider lain. Yang membedakan adalah para pembicara nya merupakan praktisi, dan beberapa menjadi konsultan serta mengalami sendiri atas kasus yang dibahas. Goestiandi, dalam bahasannya di Kontan, mengatakan, bahwa ada dua alasan utama ketidak sediaan seseorang menjadikan pengalamannya sebagai bahan studi kasus. Jika pengalaman tersebut adalah cerita keberhasilan, mereka kawatir akan dianggap sombong dan tinggi hati oleh orang yang membacanya. Namun, jika pengalaman tersebut sebagai kisah kegagalan, mereka merasa malu dan membuka borok sendiri kepada publik luas. Studi kasus tentang pengalaman sebenarnya merupakan “pembelajaran”, sebagaimana yang dikatakan filsuf Yunani diatas, bahwa “orang bijak akan belajar dari pengalaman orang lain”. Pengalaman kegagalan orang lain, dapat dipelajari, agar kita tak terperosok oleh kesalahan yang sama. Goestiandi menjelaskan, bahwa PT Unilever Indonesia mempunyai program institutionalisasi pembelajaran atas kisah kegagalan yang sangat menarik, yang diberi nama IMF yaitu singkatan dari It’s My Fault. Dalam program IMF ini karyawan akan membagikan pengalaman kegagalan mereka, dengan tujuan untuk mendatangkan pembelajaran bagi karyawan lainnya. Apakah perusahaan lainnya punya program serupa? Saya yakin ada, hanya dipergunakan untuk kalangan terbatas, untuk internal perusahaan. Saya pernah mengikuti suatu workshop dari internal perusahaan, untuk mempelajari tentang operasi perusahaan, permasalahan yang sering terjadi, apa yang harus dilakukan Pimpinan agar tak ada celah yang bisa dimasuki karyawan untuk melakukan fraud. Jika kegagalan itu berupa risiko bisnis, maka sebenarnya hal tersebut merupakan hal yang biasa, karena perusahaan akan selalu memperbaiki sistim dari kegagalan yang pernah terjadi. Yang berbahaya, kegagalan yang disebabkan karena “fraud” atau memang disengaja oleh karyawan yang ada dalam perusahaan, dan bila perusahaan tersebut bergerak di industri jasa keuangan, maka kerugian finansial yang terjadi bisa berakibat pada sistemik. Jadi, belajar dari pengalaman kegagalan dalam tulisan ini, adalah untuk pembelajaran, serta budaya untuk menghargai kegagalan atau kesalahan, namun bukan karena kecurangan.

0 comments:

Saturday, August 4, 2012

BELAJAR DARI PENGALAMAN

 Seorang filsuf Yunani mengatakan, “orang pandai belajar dari pengalamannya dan orang bijak belajar dari pengalaman orang lain, tetapi orang bodoh tidak belajar apapun.” Saat James Lam memulai program manajemen risiko di Fidelity Investment tahun 1997, konsep penting yang diangkatnya adalah mengembangkan kesadaran akan arti penting manajemen risiko didasarkan “pembelajaran dari pengalaman” dan “praktek bisnis.” Pertemuan rutin yang diadakan oleh pimpinan perusahaan, pimpinan Departemen, senior manager, dan manager, membahas pembelajaran dan pengalaman buruk perusahaan yang bergerak di industri keuangan seperti Barings Bank dan Kidder, Peabody. Para peserta mengkaji rangkaian peristiwa, akar permasalahan serta dampak finansial dan bisnis yang terjadi. Fokus pembahasan yang paling penting adalah bagaimana perusahaan (Fidelity Investment) dapat menghindari permasalahan yang sama. Pembelajaran lainnya adalah serangkaian kunjungan yang dilakukan ke berbagai institusi keuangan untuk melaksanakan benchmark dalam praktik terbaik, antara lain ke Brown Brothers, Chase, GE Capital dan State Street Bank. Pembelajaran yang penting dari kunjungan ini adalah memberikan proses pembelajaran yang tinggi. State Street Bank memiliki “program pengenalan” enam minggu untuk para staf baru, yang melatih mereka untuk mengenal proses bisnis dan manajemen risiko, sedang Brown Brothers memiliki program “kesalahan dan kelalaian” yang melatih karyawan mengenai permasalahan yang sering terjadi pada operasi perusahaan mereka dan bagaimana menghindari ini semua. Pembelajaran dari kasus yang terjadi ini juga biasa dilakukan pada sekolah bisnis terkemuka di dunia, misal Harvard Business School, menggunakan studi kasus nyata sebagai salah satu metodologi pembelajaran yang utama. Kasus yang ditulis dari pengalaman berbagai perusahaan dipandang sebagai sarana pembelajaran yang efektif, karena menghadirkan situasi nyata ke dalam ruang kelas dan sisi benak para siswa. Bagaimana di Indonesia? Saya ingat cerita seorang teman, beberapa kali dalam setahun, diadakan pertemuan antar para Bankir di Eropa, para bankir bebas membahas kasus yang menimpa perusahaannya, dan yang lain belajar dari pengalaman rekannya. Di Indonesia hal ini sulit terjadi, karena masing-masing perusahaan kawatir bila membuka kasus yang pernah terjadi di perusahaannya, kawatir citra perusahaan menjadi negatif. Saat membuat tugas akhir sekolah di magister manajemen, saya mengambil kasus nyata tentang perusahaan yang sedang melakukan restrukturisasi besar-besaran di perusahaannya. Saya sebelumnya harus menandatangani pernyataan, bahwa saya tak boleh membocorkan data yang diberikan oleh perusahaan, walau Direksi perusahaan berterima kasih atas saran yang saya lakukan, dan dari beberapa diskusi aktif ada beberapa yang menghasilkan perbaikan terhadap kemajuan bisnisnya. Namun dalam suatu seminar, atau workshop, dengan peserta terbatas, kasus nyata dapat dibicarakan dengan bebas, dalam bentuk studi kasus, namun nama perusahaan diganti sehingga tak terlihat lagi secara jelas jika orang tak ikut dalam diskusi dalam workshop. Oleh sebab itu, jika seorang teman menanyakan apakah boleh meminta bahan atau materi yang dibahas dalam workshop, yang saya merupakan salah satu pembicara nya, saya mengatakan bahannya tidak jauh berbeda dengan workshop yang diadakan provider lain. Yang membedakan adalah para pembicara nya merupakan praktisi, dan beberapa menjadi konsultan serta mengalami sendiri atas kasus yang dibahas. Goestiandi, dalam bahasannya di Kontan, mengatakan, bahwa ada dua alasan utama ketidak sediaan seseorang menjadikan pengalamannya sebagai bahan studi kasus. Jika pengalaman tersebut adalah cerita keberhasilan, mereka kawatir akan dianggap sombong dan tinggi hati oleh orang yang membacanya. Namun, jika pengalaman tersebut sebagai kisah kegagalan, mereka merasa malu dan membuka borok sendiri kepada publik luas. Studi kasus tentang pengalaman sebenarnya merupakan “pembelajaran”, sebagaimana yang dikatakan filsuf Yunani diatas, bahwa “orang bijak akan belajar dari pengalaman orang lain”. Pengalaman kegagalan orang lain, dapat dipelajari, agar kita tak terperosok oleh kesalahan yang sama. Goestiandi menjelaskan, bahwa PT Unilever Indonesia mempunyai program institutionalisasi pembelajaran atas kisah kegagalan yang sangat menarik, yang diberi nama IMF yaitu singkatan dari It’s My Fault. Dalam program IMF ini karyawan akan membagikan pengalaman kegagalan mereka, dengan tujuan untuk mendatangkan pembelajaran bagi karyawan lainnya. Apakah perusahaan lainnya punya program serupa? Saya yakin ada, hanya dipergunakan untuk kalangan terbatas, untuk internal perusahaan. Saya pernah mengikuti suatu workshop dari internal perusahaan, untuk mempelajari tentang operasi perusahaan, permasalahan yang sering terjadi, apa yang harus dilakukan Pimpinan agar tak ada celah yang bisa dimasuki karyawan untuk melakukan fraud. Jika kegagalan itu berupa risiko bisnis, maka sebenarnya hal tersebut merupakan hal yang biasa, karena perusahaan akan selalu memperbaiki sistim dari kegagalan yang pernah terjadi. Yang berbahaya, kegagalan yang disebabkan karena “fraud” atau memang disengaja oleh karyawan yang ada dalam perusahaan, dan bila perusahaan tersebut bergerak di industri jasa keuangan, maka kerugian finansial yang terjadi bisa berakibat pada sistemik. Jadi, belajar dari pengalaman kegagalan dalam tulisan ini, adalah untuk pembelajaran, serta budaya untuk menghargai kegagalan atau kesalahan, namun bukan karena kecurangan.

No comments:

Post a Comment

Template by : kendhin x-template.blogspot.com